Rabu, 18 Juni 2014

ARTI SAHABAT
 
 (Fitriani, Rorisa, Berli, dan Mayda)

Persahabatan bukan hanya sekedar kata,
yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci,
yang ditoreh diatas hati,
ditulis dengan tinta kasih sayang,
dan suatu saat akan dihapus dengan tetesan darah dan mungkin nyawa.
 
Menurut saya, sahabat merupakan hasil seleksi dari sekian banyak teman. Tidak semua teman bisa dijadikan sahabat. Sama seperti mereka. Mayda, Berli, dan Fitri dapat saya katakan mereka adalah sahabat terbaik saya. Mereka selalu ada disetiap kondisi dalam kehidupan saya, mereka juga lain dari sekian banyak teman saya. Mungkin, ketika dunia menjauhi saya, mereka akan selalu ada disamping saya. Blog ini tidak akan cukup menampung semua kebaikan sahabat saya, jadi biarlah saya simpan didalam hati saya. Dan kamu juga para pembaca, pasti akan merasakan hal yang sama ketika kamu sudah menemukan sahabat terbaik kamu. Buka hati kamu, untuk mengenal siapa sahabat kamu.
 
Ada sedikit cerita tentang persahabatan, yang mungkin bisa menjadi inspirasi buat persahabatan yang kita miliki. Baca dan renungkanlah......


**
“Cha… sini dech cepetan, aku ada sesuatu buat kamu”, panggil Mayda suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau aku gak bisa melihat”, jawab seorang gadis yang dipanggil Cha dari balik pintu.

Icha Flutterby, begitulah nama gadis tadi, meskipun lahir dengan keterbatasan fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menjalani bahtera hidup tak pernah padam. Lahir dengan kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak bisa melihat warna-warni dunia, tapi mata hatinya bisa melihat jauh ke dalam kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, dengan keterbatasannya, Icha selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia menyerah.

Duduk di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya, Icha tidak pernah absen meraih peringkat dikelas, bahkan guru-gurunya termotivasi dengan sifat pantang menyerah Icha. Sejak baru berusia 3 tahun, Icha sudah bersahabat dengan anak tetangganya yang bernama Mayda Tiara. Mayda anak seorang direktur bank swasta di kota mereka. Mayda cantik, pinter dan secara fisik Mayda kelihatan sempurna.
 
***
Seperti sore ini, Mayda sudah nangkring di rumah Icha. Dia berbincang-bincang dengan Icha, sambil menemani sahabatnya itu melukis.
“Cha, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar semua orang tau bakat kamu”, kata Mayda membuka pembicaraan.
“Hah”, Icha mendesah pelan lalu mulai bicara, “Seandainya aku bisa May, pasti sudah aku lakukan, tapi apa daya, aku ini gak sempurna, seandainya aku mendapat donor kornea, dan aku bisa melihat, mungkin aku bahagia dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap Icha dengan kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan anugrahnya kepadamu, sahabat, pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik kamu,” timpal Mayda akhirnya.
" Bener banget tu Cha,,, " sahut Berli dan Fitri.

Berbeda secara fisik, tidak pernah menjadi halangan di dalam jalinan persahabatan antara Icha, Berli, Mayda, dan Fitri, kemana pun Icha pergi, dia selalu mengajak ketiga sahabatnya, kecuali sekolah tentunya, karena sekolah mereka berempat kan berbeda.

Sedang asik-asiknya keempat sahabat ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Mayda mengeluh,
“aduuh, kepala ku”
“Kamu kenapa May, sakit??” tanya Berli.
“Oh, ngga aku gak apa-apa Ber, Cuma sedikit pusing saja”, ucap Mayda sambil tersenyum.
“Minum obat ya May, aku gak mau kamu kenapa-napa, nada bicara Icha terdengar begitu khawatir.
“aku ijin pulang dulu ya teman, mau minum obat” ujar Mayda sambil berpamitan pulang.

Di kamarnya yang terkesan sangat elegan, nuansa pink mendominasi di setiap sudut ruangan, Mayda terduduk lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama lagi usiaku di dunia ini?? Berapa lama lagi malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu?” erang hati Mayda.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan lalu dan tidak akan berumur lama lagi sungguh menyakitkan bagi Mayda, usianya yang baru 18 tahun, dengan segudang cita-cita yang dia inginkan, sudah pasti tak satupun akan terwujud.

***
Pintu kamar Mayda tiba-tiba terbuka, seorang wanita cantik paruh baya masuk lalu duduk disampingnya.
“Gimana rasanya sayang? Masih gak enak?? Kita ke dokter sekarang yuk!!!” ujar wanita itu dengan lembutnya.
“ngga usah, ma, aku sudah enakan kok, aku cuma mau beristirahat saja”, jawab Mayda dengan sopan.
“ya sudah kalau begitu, mama tinggal dulu ya, istirahat ya, Nak,” ujar sang mama sambil mencium kening putri semata wayangnya.
“Makasih ma, aku selalu sayang mama,” lirih Maydaberujar.
Terus terang Mayda sudah tidak kuat menahan rasa sakitnya, tapi dia berusaha menyembunyikan itu dari orang tuanya.

Di ruang keluarga, ibu Ani, duduk sambil menemani sang suami sepulangnya dari kantor,
“Ma, Mayda kemana?? Kok papa gak melihatnya dari tadi?” tanya sang suami.
“Mayda lagi istirahat pa, dia pusing dan mengeluh sakit dari tadi”, jawab Ani.
“Sakit apa sebenarnya anak kita ma?? Kalau kita ajak ke dokter dia selalu menolak, papa rasa ada yang dia sembunyikan dari kita, aku takut penyakitnya parah,” dengan nada khawatir pak Bachtiar bicara dengan istrinya.
“entahlah pa, mama juga bingung” ujar istrinya lagi.

***
Ternyata sakit yang dirasakan Mayda sore itu adalah pertanda dia akan segera di panggil menghadap Tuhan, saat minta ijin untuk istirahat pada mamanya, kesehatan Mayda benar-benar drop, dengan panik kedua orang tua Mayda melarikan putrinya ke rumah sakit, setelah mendapat penanganan oleh tim dokter, Nayra sedikit terlihat tenang, namun mukanya terlihat pucat, sinar matanya terlihat begitu redup.
“Pak Bachtiar, bisa kita bicara sebentar di ruangan saya”, kata dokter Sinaga, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Bachtiar.
“Baiklah dok, “ sambut pak Bachtiar.

Setelah pak Bachtiar dan ibu Ani duduk di ruangan dokter Sinaga, mereka akhirnya mulai bicara,
“Maafkan saya sebelumnya pak, sebenarnya saya sudah tau penyakit yang diderita putri bapak sejak 7 bulan lalu, tapi karena putri bapak menyuruh saya merahasiakan penyakitnya kepada bapak dan ibu, saya gak bisa berbuat apa-apa. Putri bapak terkena leukimia,” ujar dokter Sinaga lirih.

Cukup lirih memang kata-kata dokter Sinaga, tapi mampu membuat jantung pak Bachtiar dan istrinya berdetak lebih cepat dari biasanya,
“Apa?? Leukemia? Separah apa dok??” keras nada suara pak Bachtiar.
“sudah parah pak, umur Mayda tidak akan lama” sambung dokter kembali.
Setelah berbicara lama dengan dokter, air mata tak pernah berhenti mengalir di pipi Ani. Dia begitu terpukul mendengar putrinya menderita penyakit itu.
“udah, ma, jangan nangis terus, pengobatan Mayda akan diusahakan, kita akan mengusahakan kesembuhannya, lebih baik kita berdoa, semoga Tuhan memberikan jalan terbaik buat keluarga kita”, hibur pak Bachtiar.
“mari kita tengok Mayda!!” ajaknya lagi.

Memasuki ruangan perawatan, ibu Ani berusaha menyembunyikan air matanya, dia tersenyum penuh kepedihan di samping ranjang putrinya,
“Mama, kenapa? Kok sedih begitu?” ujar Mayda lirih.
“Gak apa-apa sayang”, berbisik ibu Ani tak kuasa menahan air matanya.
“Maafkan Mayda, Ma, Pa, Nayra tak bermaksud membuat Mama dan Papa terluka seperti ini, Mayda hanya tak ingin menyusahkan kalian” Mayda berkata dengan terbata-bata.

Belum ada beberapa menit pak Bachtiar dan ibu Ani di kamar putrinya, tiba-tiba Mayda kejang-kejang. Dengan panik pak Bachtiar memanggil dokter Sinaga. Dokter Sinaga menangani Mayda lumayan lama, hingga akhirnya dokter Sinaga keluar, muka beliau kelihatan sangat sedih.
“Bagaimana anak saya, dok?” tanya pak Bachtiar.
“Maaf pak, kami disini sudah berusaha yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain, Mayda sudah dipanggil menghadapNya” ucap dokter.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk”, teriak ibu Ani isteris,“ Mayda tidak mungkin meninggal, Mayda masih hidup,” seluruh pengunjung rumah sakit menoleh ke arah mereka.
“Pak, sebelum meninggal, Mayda menitipkan ini ke saya, ini buat bapak dan ibu” imbuh dokter Sinaga sebelum mohon diri.

Sepeninggal Dokter Sinaga, pak Bachtiar dan istrinya membuka amplop kecil dari Mayda, isinya ternyata surat.
“Mama, papa, maafin Mayda sudah membuat mama dan papa jadi sedih, Mayda mohon sama mama dan papa, setelah Mayda meninggal, tolong berikan kornea mata Mayda untuk Icha, tapi jangan bilang itu dari Mayda sebelum Icha benar-benar operasi dan bisa melihat lagi, dan satu lagi, mama tolong kasih Icha, Berli dan Fitri surat yang Mayda simpan di laci meja belajar Mayda yang amplopnya berwarna pink setelah Keynaya melihat nanti, dan surat buat mama dan papa ada di dalam amplop biru di laci yang sama. Sekian dulu Mama, papa, maaf kalau Mayda selalu ngerepotin kalian, Nayra sayang kalian, big kis & hug.. muacch”..
Mayda Tiara

Selain sepucuk surat itu, ada lagi sebuah surat pernyataan pendonoran kornea mata yang telah lengkap dengan tanda tangan Mayda. Hati orang tua Mayda tersayat, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan selain memenuhi permintaan terakhir sang anak.

***
Sementara itu, di rumah Icha, tampak gadis cantik itu tengah duduk seorang diri di teras rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung,
“kemana si Mayda, sudah lebih dari 5 hari dia gak main ke sini, apa dia baik-baik saja?” gumamnya.
“Ma, Mayda pernah kesini gak dalam beberapa hari ini?” tanya Icha ke pada mamanya.
“Gak ada, Cha, memang kenapa?” tanya sang mama.
“Gak apa-apa ma, aku ke rumah Mayda sebentar ya!!” Icha meminta ijin ke mamanya.

Tapi diluar dugaan, mama Icha melarangnya pergi.
“Jangan Cha, kita harus ke rumah sakit sekarang juga, tadi mama ditelepon sama pihak rumah sakit, katanya ada yang menyumbangkan korneanya khusus untuk kamu,” dengan tutur kata yang lembut mamanya menjelaskan.
“Yang bener, Ma? Icha sudah dapat donor kornea?? Asik-asik, Icha akan segera bisa melihat wajah Mayda, Berli dan Fitri, Icha bisa segera menggelar pameran lukisan,” ucap Icha berapi-api.
“Iya nak” jawab mamanya penuh kepedihan. “seandainya kamu tahu sayang, Mayda tak mungkin ada disamping kamu lagi, Mayda sudah tenang dialam sana, dan seandainya kamu tahu siapa orang yang mendonorkan korneanya untuk kamu” kata ibu Lina dalam hati.

Waktu berjalan begitu cepat, operasi cangkok kornea sudah dilaksanakan dan sekarang adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Icha, perban di matanya akan di buka, tim dokter beserta kedua orang tua Icha sudah ada di ruangan Icha. Sebelum perbannya di buka, Icha berujar,
“Ma, Pa, Mayda, Berli dan Fitri sudah datang?? Ku ingin sekali ada mereka di sini pas aku bisa melihat”
“Fitri dan berli sudah ada disini, tapi Mayda belum sayang, Mayda masih diluar kota” pedih rasanya hati ibu Lina saat berujar.

Perban akhirnya di buka, samar-samar penglihatan Icha mulai melihat warna, melihat sosok kedua orang tuanya, dan kedua sahabatnya dia tersenyum, semakin lama semakin jelas,
“Mama, papa aku bisa melihat kalian, aku bisa melihat kalian juga ber, fit” gembira sekali suara Icha.

***
Sudah 1 minggu semenjak Icha bisa melihat, hari ini dia memaksa ibunya agar diperbolehkan melihat Mayda, mengujungi Mayda,
“Kata mama Mayda sudah ada di rumah, berarti Icha boleh main donk Ma, Icha pingin ngajak Mayda jalan-jalan buat merayakan kesembuhan Icha,”
“Iya, nak, mama sama papa temenin kamu ya!!”

Berbeda beberapa rumah antara Mayda dan Icha merupakan hal yang membahagiakan, tidak perlu capek-capek bermacet-macet ria di jalanan untuk mengunjunginya. Sesampai di rumah Mayda mereka disambut ramah oleh keluarga Mayda yang kebetulan lagi ada di rumah.
“Selamat sore tante Ani’” sapa Icha dengan senyum sumringah.
Setelah di persilahkan duduk dan menikmati hidangan ala kadarnya, Icha menanyakan keberadaan sahabat karibnya,
“mana Maydanya tante?? Kok gak kelihatan ada di rumah?”
“Maydanya… Mayda.. Mayda..” dengan terbata-bata ibu Ani menjawab.
“Mayda kenapa tante, kemana?? Mayda tidak apa-apa kan?” bertubi-tubi Icha bertanya.

Ibu Ani tak kuasa menjawab, beliau meninggalkan tamunya di ruang tamu dan berlari naik ke kamar Mayda, mengambil sepucuk surat yang dititipkan Mayda untuk Icha. Ibu Ani kembali ke ruang tamu dengan sepucuk surat di tangan,
“ini dari Mayda untuk kamu” ujarnya berlinang air mata kepada Icha.

Dengan tangan gemetar Icha membuka amplop berwarna pink yang cantik itu, ada pita pink juga di sudut amplonya.

Dear Icha

“Icha sayang, sahabatku yang paling baik, apa kabar hari ini?? Baik-baik sajakah?? Sehat-sehat?? Semoga sehat ya!! Cha, saat kau membaca surat dari aku ini, mungkin aku sudah tak ada lagi di dunia ini, tak ada di samping kamu, tak bisa menemani kamu bermain, bercanda dan tertawa, maafkan aku ya Cha.

Icha sayang, sebenarnya aku ingin sekali cerita ke kamu tentang penyakitku, tapi aku takut membuat kamu kepikiran terus, takut buat kamu gelisah. Sebenarnya aku terkena penyakit leukemia, Cha dan umurku tidak akan lama lagi.

Icha sayang, meskipun aku telah pergi dari sisi kamu, tapi rasa sayang aku ke kamu tak akan pernah berubah, kamu sahabat terbaik di hidupku, kamu tempatku berkeluh kesah, tempatku menumpahkan suka dan duka. Cha, ku tahu saat kau membaca ini, kau sudah bisa melihat indahnya dunia, sengaja ku berikan mataku untuk kamu Cha, hanya itu yang bisa aku berikan, jaga mata itu seperti kau menjaga persahabatan kita.

Segitu dulu Cha, maafkan aku karena harus pergi meninggalkanmu, terima kasih karena sudah memberikan aku arti selama hidup di dunia. Sampai ketemu suatu saat nanti Icha, aku sayang kamu sahabatku.
Kiss and big hug my lovely friend, my best friend in my life….muaaachh…

Dariku yang selalu menyayangimu
Mayda Tiara

Air mata mengalir deras di pipi Icha,
“ini tidak mungkin” katanya lirih. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar tak percaya, sahabatnya sudah kembali ke pangkuan Tuhan, Icha menatap selembar foto yang juga ada di dalam amplop surat tadi, foto Mayda tersenyum manis ke arahnya, mata Mayda yang teduh, sekarang ada padanya. Icha meminta agar kedua orang tua Mayda mengantarnya ke kuburan.

Lumayan jauh dari rumah Mayda, kaki Icha lemah, tapi dia berusaha mengikuti langkah kaki orang tuanya dan orang tua Mayda ke sebuah makan yang begitu tertata rapi, taburan bunga masih segar, tanah pekuburannya juga masih basah.
Sebuah Nisan yang begitu cantik dihadapan Icha, membuatnya semakin terluka, jelas tersurat di batu nisan berwarna putih itu nama sahabat karibnya.

“Mayda Tiara Bachtiar”
Lahir 8 Januari 1994
Wafat 14 April 2011

Berjongkok Icha membelai nisan itu, gerimis turun membasahi nisan, semakin lama semakin deras, sederas airmata yang jatuh di pipi Icha,
“kenapa secepat ini kau tinggalkan aku, May?? Tega kamu?? Meninggalkan aku seorang diri disini.” Mayda, terima kasih sayang, kau telah memberikan aku sepasang mata untuk melihat dunia ini, terima kasih karena telah mengajariku tentang ketulusan sebuah persahabatan, terima kasih atas senyum termanis yang pernah kau hadirkan di hidupku” ucap Icha sambil terisak lirih di atas nisan.

Tangan lembut ibu Lina terulur ke arah putrinya,
“Bangun Key, sudah, ikhlaskan saja Mayda, dia sudah tenang di sana, dia sudah berada di pangkuan Tuhan, yang harus kamu tahu, Mayda tak pernah ingin kamu cengeng, kamu harus tetap semangat menjalani hidup kamu,” bimbing ibu Lina.
“iya ma, terima kasih, aku hanya sedih saja, tapi aku janji gak akan cengeng lagi setelah hari ini”, kata Icha.

***

Yaaaaap,,,, begitulah sedikit kisah persahabatan. 
Masih adakah diantara kita yang memiliki persahabatan seperti mereka? 
Atau bahkan mata hati kita buta, 
hingga sampai saat ini kita belum memiliki sahabat?

Saya pribadi, bangga memiliki sahabat seperti mereka (Mayda, Berli dan Fitri).
Semoga persahabatan kami kekal sampai maut yang memisahkan ...
Amin


 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar